Lorem ipsum dolor sit amet, libero turpis non cras ligula, id commodo, aenean est in volutpat amet sodales, porttitor bibendum facilisi suspendisse, aliquam ipsum ante morbi sed ipsum mollis. Sollicitudin viverra, vel varius eget sit mollis. Commodo enim aliquam suspendisse tortor cum diam, commodo facilisis, rutrum et duis nisl porttitor, vel eleifend odio ultricies ut, orci in adipiscing felis velit nibh. Consectetuer porttitor feugiat vestibulum sit feugiat, voluptates dui eros libero. Etiam vestibulum at lectus.
Jumat, 24 Maret 2017
Novel Perahu Kertas
PERAHU KERTAS
BAB 1
JALAN YANG BERPUTAR
Amsterdam, Juni 1999 …
Tidak ada alasan untuk
meninggalkan Amsterdam pada musim panas. Inilah masa terbaik untuk bersepeda di
sekitar Leidseplein dan Dam Square sambil menikmati sinar matahari yang
merupakan surga tahunan bagi warga kota. Ia masih ingin duduk di pinggir pantai
Blomendahl berbekal kanvas dan alat lukis, atau menikmati koffie verkeerd1 di
salah satu kafe di 9 Straatjes dari pagi hingga sore bersama buku sketsanya.
Sambil mengosongkan baris
terakhir bukunya dari rak yang bergantung di samping tempat tidur, pertanyaan
yang sama seminggu terakhir ini berulang dalam kepalanya: umurku baru jalan
delapan belas, tapi kenapa aku merasa terlalu lelah untuk semua ini?
Pintu di balik punggungnya
berderit pelan.
“Nee2, Keenan. Jangan bebani
kopermu dengan buku. Biar Oma yang kirim semua bukumu ke Jakarta.”
Keenan tersenyum tipis, urung
membereskan buku-buku tadi. Hatinya terusik. Oma mengatakan itu seolah-olah ia
tak akan pernah kembali ke rumah ini.
Keenan tahu saat ini akan hadir
tak terelakkan. Hanya keajaiban yang bisa membatalkannya kembali ke Indonesia.
Bertahun-tahun, Keenan berharap dan berdoa keajaiban itu akan datang. Keajaiban
tak datang-datang. Hanya sesekali telepon dari Mama yang memuji sketsa-sketsa
yang ia kirim, tanpa ucapan tambahan yang menyiratkan kalau ia bisa terus
tinggal di Amsterdam, menemani Oma yang berjuang agar tidak digusur ke panti
jompo karena dianggap terlalu tua untuk hidup sendiri, melukis di salah satu
bangku di Vondelpark, tumbuh besar menjadi seniman-seniman yang ia kagumi dan
banyak berseliweran di kota ini.
Keajaiban yang dimiliki Keenan
punya tanggal kedaluwarsa. Cukup enam tahun saja. Orangtuanya bertengkar hebat
seminggu sebelum akhirnya memutuskan bahwa ia, anak pertama mereka, dilepas ke
negeri orang. Padahal Keenan tidak merasa di negeri orang. Bukankah di kota ini
mamanya dilahirkan dan menjadi pelukis, sampai akhirnya pergi ke Indonesia dan
berhenti menjadi pelukis? Keenan tidak tahu persis apa yang terjadi. Bagaimana
mungkin orangtuanya, sumber dari bakat melukis yang mengalir dalam darahnya,
justru ingin memadamkan apa yang mereka wariskan?
Papa khawatir Amsterdam akan
menghidupkan seorang seniman dalam diri anaknya. Kenapa Papa takut? Keenan dulu
bertanya. Karena otakmu terlalu pintar untuk cuma jadi pelukis, jawab ayahnya.
Keenan pun bertanya-tanya, haruskah dia mulai menyabotase nilai-nilainya
sendiri di sekolah agar papanya keliru? Tapi, untungnya, sebelum itu terjadi,
Papa dan Mama sepakat. Dia diizinkan bersekolah di Amsterdam untuk enam tahun.
Hanya enam tahun.
Dua ribu lebih hari berlalu dan
Keenan merasa enam tahun sesingkat kedipan mata.
“Mungkin ini saja yang sebaiknya
kamu bawa, vent3,” Oma menyerahkan dua buah buku bertuliskan 2500 Latihan Soal
UMPTN, “supaya jij4 bisa belajar di pesawat.”
“Ja5, Oma.” Keenan menyambut dua
buku tebal itu dan berencana untuk meninggalkannya di kolong tempat tidur
begitu Oma keluar kamar nanti.
“Oma tunggu kamu di meja makan,
ya.” Perempuan tua itu berdiri, membereskan blus motif paisley-nya yang
berkerut, mengencangkan jepit yang mencapit rambutnya yang sudah putih tapi
masih lebat. Oma tersenyum. Keriput tidak menyusutkan kecantikan dari wajahnya.
Oma sangat mirip Mama. Keenan mendadak merasakan kangen yang menjadikan
kepulangannya ke Jakarta tidak terlalu buruk.
“Oma jadi masak?”
“Bruinebonen soep6 dan kaas
brodje7. Sesuai pesananmu. Oma kan niet ferget8, vent. Oma selalu pegang
janji.”
Satu malam pada musim dingin
pertamanya di rumah ini, pemanas rumah mereka rusak. Oma mendekapnya dan
membungkusnya dalam selimut tebal. Mereka berdua bertahan seperti itu di sofa.
Menunggu pagi. Untuk pertama kalinya juga mereka merasakan kedekatan seperti
dua sahabat yang saling menjaga. Malam itu, Oma janji tidak akan menangis kalau
satu saat Keenan pulang ke Indonesia. Dan Keenan pun ikut berjanji tanpa tahu
betapa beratnya memegang janji itu.
Keenan memandangi neneknya yang
berjalan menuju meja makan. Sudut mulut Oma selalu tampak tersenyum dan membuat
air mukanya selalu ramah, langkahnya masih tegap meski memelan setahun
belakangan ini. Dari celah pintu yang sedikit membuka, Keenan memandangi Oma
membereskan taplak meja yang sudah rapi dan duduk menatap sup kacang merah yang
mengepul di wajahnya. Sekalipun samar, Keenan dapat melihat mata tua itu
berkaca-kaca, dan dalam gerakan cepat Oma tampak menyusut sesuatu dari ujung
matanya.
Keenan menutup pintu kamar. Tak
lama, seluruh ruangan itu tampak kabur. Berkali-kali Keenan mengerjapkan mata,
tapi air di pelupuknya seperti tidak bisa berhenti.
Jakarta, Juli 1999 …
Cewek bertubuh mungil itu tak
henti-hentinya bergerak, berjingkat, kadang melompat, bahkan kakinya menendangi
udara. Padahal kegiatannya hanyalah mengemas buku ke dalam dus, tapi dia
memutuskan untuk mengombinasikannya dengan berjoget.
Kupingnya tersumbat earphone yang
mengumandangkan musik new wave koleksi abangnya. Dia baru lulus SMA sebulan
yang lalu, tapi selera musiknya sama dengan anak SMA lima belas tahun yang
lalu. Semua orang selalu bilang, yang namanya Kugy itu luarannya doang
up-to-date, tapi dalamannya out-of-date. Yang dikatai malah cuek cenderung
bangga. Kugy tetap bersikeras bahwa musik tahun ’80, terkecuali fashion-nya,
sangat keren dan genius.
“Karma-karma-karma-karma-karma
Chameleon … you come and go … you come and gooo …” Kugy mengipas-ngipas sebuah
buku sambil menandak-nandak. Ia berusaha keras tidak melihat cermin karena
kelebatan bayangannya saja sudah membuat ia ingin terpingkal-pingkal. Jelek
banget, decaknya. Terkagum-kagum sendiri.
Dari luar, adik perempuannya,
Keshia, mengetuk-ngetuk pintu. Setelah semenit tidak ada hasil, Keshia yang
tidak sabar mulai menggedor-gedor.
“Kugy! Woooi! Ada telepon, tuh!”
Ada suara dewasa berceletuk pelan
dari belakang, “Kak Kugy.” Terdengar penekanan pada kata “Kak”.
Keshia melirik ibunya sambil
melengos. Beliau tidak bosan-bosannya mengingatkan untuk memanggil Kugy dengan
tambahan ‘kak’. Masalahnya, kelakuan kakak perempuannya yang satu itu kurang
layak untuk menyandang titel “kakak”.
Pintu penuh stiker di hadapan
Keshia membuka. Kugy melongok dengan sebelah earphone-nya menjuntai. Bukannya
buru-buru mengangkat telepon, dia malah menengok ke ibunya dulu, “Ma, gimana
kalau aku ganti nama jadi Karma? Kan tetap dari ‘K’. Jadi nggak menyalahi
aturan rumah ini.”
Keshia ikut menengok ke ibunya
dengan tatapan putus asa, “Tuh, kan, Ma? Dia aneh banget, kan?”
Ibunya hanya mengangkat bahu
sambil terus membaca. “Punya anak lima saja manggilnya suka ketukar-tukar,
apalagi ada yang mau ganti nama. Malas, ah. Nanti saja kalau Mama sudah tua,
sudah pikun. Jadi nggak ngaruh. Mau Karma, kek, mau Karno … terserah.”
Keshia dibuat melongo. Dia mulai
menyadari dari mana keanehan Kugy itu berasal.
Dengan logat British yang
dibuat-buat, Kugy menjawab telepon. “Karma Chameleon speaking. Who is this?”
Ada beberapa detik kosong sampai
terdengar jawaban dari ujung telepon. “Gy? Noni, nih. Emang lu sangka siapa
yang nelepon? Ratu Inggris?”
Mendengar suara Noni, mata Kugy
langsung berbinar. Noni adalah sahabatnya sejak kecil. Dialah orang yang paling
menunggu-nunggu Kugy selesai berkemas supaya bisa langsung cabut ke Bandung.
Noni juga orang yang paling repot, persis seperti panitia penyambutan di
kampung yang mau kedatangan pejabat tinggi. Dia yang mencarikan tempat kos bagi
Kugy, menyiapkan jemputan, bahkan menyusun daftar acara mereka selama seminggu
pertama. Singkatnya, Noni adalah seksi sibuknya.
“Jadi ke sini, nggak? Entar kamar
kos lu keburu gua lego ke orang lain!” Suara Noni yang melengking tajam begitu
kontras menggantikan suara Boy George yang halus dari kuping Kugy.
“Santailah sedikit, Bu Noni.
Legalisasi STTB ke sekolah aja gua belum sempat ….”
“HA? Orang lain tuh sudah dari
berabad-abad yang lalu legalisasi STTB-nya, tahu!”
“Itu jelas nggak mungkin. Yang
namanya STTB baru ada waktu angkatan abang gua sekolah ….”
“Kapan mulai beres-beres, Gy?
Buku-buku lu yang banyak banget itu dipaket aja ke Bandung, nggak usah bawa
sendiri. Bagasi mobilnya Eko kan kecil, nanti nggak bakal muat. Lu bawa
baju-baju aja, ya? Tiket kereta api udah pesan, belum? Lagi penuh lho. Ntar
terpaksa beli di calo. Sayang duit.”
“Non, lu tuh lebih cerewet dari
tiga nyokap gua dijadiin satu. Serius.”
“Minggu depan, pokoknya nggak mau
tahu, lu harus udah sampai di Bandung. Mobil Eko udah gua suruh masuk bengkel
dulu biar nggak mogok pas ngejemput lu ke stasiun. Habis itu kita langsung
keliling buat belanja kebutuhan lu. Kamar lu udah gua sapu-sapu dari kemarin.
Pokoknya tahu beres, deh.”
“Tapi lu juga lebih rajin dari
tiga pembantu gua dijadiin satu.”
“Dasar anak gila!”
“Kurang ajar lagi ….”
“Iya! Kurang ajar!”
“Gimana sih, gua. Payah banget.”
Noni tiba-tiba tertawa. “Kok lu
jadi marahin diri lu sendiri!”
“Iya, ya?” Kugy ikut tertawa.
“Supaya menghemat energi lu, Non. Kan lu udah capek bantuin gua. Udah capek
ngurusin si Eko dan Fuad-nya yang ngadat melulu itu …”
“Emang! Kadang-kadang mendingan
nge-date pake sepeda kumbang daripada Fiat kuning itu. Lebih sering si Fuad
mogok daripada si Kombi kawin.”
“Wuahaha! Parah banget, dong!
Mending kalo Fuad bisa beranak, minimal kalian bisa jadi peternak Fiat …” Kugy
terrgelak-gelak. Komba dan Kombi adalah pasangan hamster peliharaan Noni dan
pacarnya, Eko. Pasangan Komba dan Kombi ini tidak henti-hentinya beranak
sampai-sampai Noni dan Eko sempat punya profesi baru yakni pedagang hamster.
“Ya udah, minggu depan pokoknya
gua tunggu di Bandung, ya. Jangan lupa: STTB, pesan tiket KA, packing, paketin
buku-buku lu, payung lipat yang dulu lu pinjam, jaket jins gua—masih di lu kan,
ya? Terus …”
Kugy menjauhkan gagang telepon
sebentar dari kupingnya, menunggu sayup suara Noni selesai bicara sambil
pindah-pindah saluran teve.
“Gy? Udah dicatat semua? Kugy?”
Kugy buru-buru menyambar telepon
kembali. “Siap! Sampai ketemu minggu depan, ya!”
Saat pembicaraan telepon itu
usai, Kugy terkikik-kikik sendiri. Sahabatnya yang satu itu memang luar biasa.
Keluarganya sendiri bahkan tidak usah repot mengurus ini-itu ketika Kugy harus
bersiap kuliah di Bandung. Noni membereskan hampir segala persiapan Kugy dengan
baik dan sukarela. Dari mereka kecil memang selalu begitu. Orang-orang bilang,
Noni seperti mengasuh adik, padahal mereka seumuran.
Noni yang anak tunggal dan Kugy
yang dari keluarga besar adalah sahabat karib yang saling melengkapi sejak TK.
Kedua ayah mereka sama-sama merintis karier di perusahaan yang sama, dan
hubungan kedua keluarga itu terjalin akrab semenjak hari pertama mereka
berjumpa. Seperti disengaja, kedua ayah mereka pun selalu ditugaskan
berbarengan.
Noni dan Kugy tumbuh besar
bersama, selalu tinggal di kompleks perumahan yang sama, pindah dari satu kota
ke kota lain hampir selalu bersamaan: Ujungpandang, Balikpapan, Bontang, dan
berakhir di Jakarta saat mereka kelas 1 SMP. Pada tahun itu, untuk pertama
kalinya mereka berpisah. Ayah Noni yang duluan pensiun, memilih tinggal di Subang
untuk menghabiskan hari tuanya, dan Noni kemudian disekolahkan di Bandung.
Sementara ayah Kugy tetap tinggal di Jakarta bersama keluarganya.
Meski Noni selalu tampak lebih
dewasa dan teratur ketimbang Kugy yang serampangan, sesungguhnya Kugy memiliki
keteguhan yang tidak dimiliki Noni. Sejak kecil, Kugy tahu apa yang dimau, dan
untuk hal yang ia suka, Kugy seolah-olah bertransformasi menjadi sosok yang
sama sekali berbeda.
Pilihannya mengambil jurusan
Sastra adalah buah dari cita-citanya yang ingin jadi penulis dongeng.
Pilihannya kuliah di kota lain adalah buah dari khayalannya untuk hidup
mandiri. Di luar dari perilakunya yang serba spontan, Kugy merencanakan dengan
matang perjalanan hidupnya.
Ia tahu alasan di balik semua
langkahnya, dan benar-benar serius menangani impiannya.
Dari SD, Kugy rajin menabung, dan
semua hasil tabungannya dibelikan buku cerita anak-anak, dari mulai cergam
stensilan sampai buku dongeng klasik yang mahal. Kemudian investasi itu ia
putarkan lagi melalui usaha penyewaan, sampai bukunya terus bertambah banyak.
Jadilah Kugy pemilik taman bacaan termuda di kompleksnya, sekaligus yang
tergalak. Seperti predator di hutan rimba, ia memburu para penyewa “nakal”
dengan sepeda mininya, hingga mereka tersudut dan tidak ada cara lain agar
berhenti dikejar-kejar selain mengembalikan buku.
Kugy melakoni dengan tekun segala
kegiatan yang ia anggap menunjang cita-citanya. Kugy menjadi Pemimpin Redaksi
majalah sekolah dari mulai SMP sampai SMA. Ia dikenal sebagai pionir dengan
ide-ide segar bagi kehidupan buletin sekolah, ia nekat memburu para figur
publik betulan untuk diwawancarai dengan pendekatan yang profesional, yang lalu
dituangkan ke dalam bentuk artikel yang serius. Dengan rajin ia mengikuti
segala perlombaan menulis di majalah-majalah, lalu bekerja sebaik dan sekeras
mungkin, untuk akhirnya keluar menjadi juara. Sampai-sampai Kugy hafal
juri-juri mana yang biasa dipakai dan bagaimana seleranya.
Tidak semua orang menganggap
menjadi penulis dongeng layak disebut sebagai cita-cita. Kugy juga tahu itu.
Semakin ia beranjak besar, Kugy sadar bahwa sebuah cita-cita yang dianggap
layak sama dengan profesi yang pasti menghasilkan uang. Penulis dongeng bukan
salah satunya. Untuk itu, sepanjang hidupnya Kugy berupaya membuktikan bahwa ia
bisa mandiri dari buku dan menulis.
Dalam kamarnya yang bergabung
dengan taman bacaan di loteng rumah, Kugy menyusun balok demi balok mimpinya.
Suatu hari ia bukan hanya seorang kolektor buku dongeng. Ia akan menulis
dongengnya sendiri, kendati jalan yang ditempuhnya harus berputar-putar.
---------------------------------------------------------------------
BAB 2
PINDAH KE BANDUNG
Jakarta, Agustus 1999 …
“Keenan mana, Ma?” tanya pria itu
dengan gelisah. Badannya, yang tinggi dan masih tegap untuk umurnya yang
memasuki kepala lima, hanya berbalutkan kaus putih polos dan celana olahraga.
Langkah-langkah beratnya hilir mudik sedari tadi.
“Palingan juga masih tidur,”
jawab istrinya santai. Konsentrasinya lebih terpusat pada dua gelas berisi kopi
susu panas yang sedang ia aduk.
“Gimana, sih. Kok kayaknya kita
yang lebih antusias menunggu pengumuman UMPTN daripada pesertanya sendiri,”
dumel suaminya.
“Eh, itu, korannya datang! “seru
istrinya ketika ia mendengar gesekan kertas koran di depan pintu.
Seperti balap lari, mereka
buru-buru ke pintu depan dan langsung membuka halaman tengah koran yang padat
dengan barisan nama-nama.
“Ini namanya! Dia masuk!”
Istrinya berseru dengan suara tercekat sambil menunjuk satu nama.
Antara percaya dan tidak, pria
itu pun meyakinkan dirinya berkali-kali, bahwa memang cuma ada satu nama
seperti itu: K E E N A N. Tercetak jelas.
“Kita bangunkan saja dia,”
ujarnya tidak sabar.
“Ah, nggak usah. Biar dia tidur
sepuas-puasnya. Kasihan Keenan, dari kemarin begadang terus,” istrinya
menyergah dengan senyum mengembang, “toh hari ini dia sudah membuat kita semua
lega.”
Padahal Keenan sudah tahu apa
yang terjadi. Tidak mungkin menutup telinga dari suara apa pun di rumah mungil
ini. Sambil meringkuk dan memeluk lutut, Keenan menerawang di atas tempat
tidur, bertanya-tanya pada dirinya sendiri: apakah ia salah karena tidak
merasakan kebahagiaan yang sama? Apakah ia puas atas kesuksesannya menyenangkan
orang lain? Dan apakah ia cukup berduka atas pengkhianatannya pada diri sendiri?
Di depan kanvas, mata Keenan
terpaku. Mendapatkan lembar kosong itu sebagai jawaban pertanyaan hatinya.
Dua belokan dari rumah Kugy, ada
sebuah kali. Meski berair cokelat, arus kali itu mengalir lancar dan tidak
mampat seperti kebanyakan kali di Kota Jakarta. Kugy menyadari sesuatu ketika
baru pindah ke Jakarta, di mana pun ia tinggal, ia selalu menemukan air
mengalir dekat rumahnya. Seolah-olah ada yang menginginkan agar kebiasaannya
yang satu itu terus berjalan.
Kugy ingat betul bagaimana
sejarah kebiasaan itu bermula. Waktu itu keluarganya masih tinggal di
Ujungpandang. Rumah mereka yang berseberangan dengan laut membuat Kugy kecil
banyak menghabiskan hari-harinya di pantai. Adalah Karel, abangnya yang paling
besar, yang pertama kali memberi tahu bahwa zodiak Kugy adalah Aquarius.
Simbolnya air. Kugy kecil lalu berkhayal dirinya adalah anak buah Dewa Neptunus
yang diutus untuk tinggal di daratan. Seperti mata-mata yang rutin melapor ke
markas besar, Kugy percaya bahwa ia harus menulis surat untuk Neptunus dan
melaporkan apa saja yang terjadi dalam hidupnya.
Ia mengirim suratnya yang pertama
saat mulai bisa menulis sendiri. Kugy melipat surat itu menjadi perahu lalu
dihanyutkan ke laut. Hampir setiap sore Kugy selalu mampir ke pantai,
mengirimkan surat-surat berisi cerita atau gambar untuk Neptunus.
Kugy protes keras saat keluarga
mereka harus pindah kota, yang artinya tak ada pantai lagi dekat rumah. Ia
ngambek berkepanjangan sampai akhirnya Karel menjelaskan bahwa selama ada
aliran air, di mana pun itu, Kugy tetap bisa mengirim surat ke Neptunus. Semua
aliran air akan menuju ke laut, begitu kata Karel sambil menyusutkan linangan
air mata di pipi Kugy.
“Air sungai bakal sampai ke
laut?”
Karel mengangguk.
“Air empang bakal sampai ke
laut?”
Karel mengangguk lagi.
“Air selokan bakal sampai ke
laut?”
Karel masih mengangguk.
Barulah Kugy teryakinkan. Kendati
bukan lagi dekat laut, rumah mereka yang berpindah-pindah selalu dekat sesuatu
yang mampu meyakinkan Kugy bahwa surat-suratnya tetap sampai pada Neptunus.
Termasuk rumah mereka yang dekat kali di Jakarta.
Namun, kebiasaan itu mengendur
seiring waktu. Kugy yang beranjak besar pun sadar bahwa besar kemungkinan Dewa
Neptunus itu tidak ada, bahwa surat-suratnya sampai ke laut sudah dalam bentuk
serpihan mikron yang tak lagi bermakna, atau bahkan tidak sampai sama sekali.
Namun, Kugy juga tidak bisa menjelaskan bagaimana di lubuk hatinya ia masih
ingin percaya. Ia tidak bisa menjelaskan bagaimana batinnya dibuat damai dengan
menyaksikan perahu-perahu kertas itu hanyut terbawa air.
Pagi itu ia berdiri di tepi kali.
Hiruk-pikuk kerumunan anak kampung dari pelosok gang berdengung di telinganya.
Namun, Kugy tak terganggu. Matanya tak lepas mengamati aliran air cokelat di
bawah kakinya. Perlahan, ia mengeluarkan sesuatu dari kantong celana. Sebuah
perahu kertas. Kugy tidak ingat kapan terakhir ia menghanyutkan perahu di sana.
Terlalu lama ia lupa tugasnya sebagai mata-mata dunia air. Entah kenapa,
kepergiannya kali ini menggerakkan ia kembali menulis. Sebuah surat pendek
berisi sebaris kalimat:
Nus,
Saya pindah ke Bandung, I’ll find
my stream. Sampai ketemu.
Berbarengan dengan batu, kail,
daun, dan segala yang dicemplungkan tangan-tangan kecil di sebelahnya, sebuah
perahu kertas melaju tak terganggu.
Seorang anak SMP berambut ikal
tampak berlari dan bergegas memasuki pagar rumahnya yang terbuat dari kayu
bercat putih. Garis-garis mukanya yang tegas dan runcing dikombinasikan dengan
kulit putih tapi gosong kemerahan akibat terpaan sinar matahari membuatnya
persis seperti turis peselancar di pinggir Pantai Kuta. Rumah asri yang
terletak di daerah hijau di Jakarta Timur itu tampak lengang. Anak lak-laki itu
melihat sekeliling dengan khawatir. Napasnya baru melega ketika mobil
orangtuanya ternyata masih terparkir di dalam garasi. Langkahnya pun meringan
saat ia membuka pintu.
“Ma! Keenan belum berangkat,
kan?” tanyanya seketika, memastikan.
Ibunya tersenyum dan menggeleng.
“Belum. Tapi kamu harus mandi dulu baru bisa ikut antar abangmu ke stasiun.”
Keenan melangkah keluar dari
kamarnya dan nyengir melihat adiknya yang dekil bermandikan keringat. “Tapi
jelek-jelek gitu, Jeroen banyak yang naksir, Ma.”
Muka Jeroen bersemu merah.
Pikirannya melayang pada surat-surat dan foto-foto yang sering diselipkan di
tasnya oleh cewek-cewek di sekolah, dan ia menebak-nebak mana yang kira-kira
ditemukan oleh abangnya.
“Untung kamu tidak di sini, Nan.
Mama sudah kayak resepsionis pribadi ngangkatin telepon buat dia,” celetuk
ibunya lagi. Diam-diam ia mengamati kedua anak laki-lakinya yang terpaut jarak
umur enam tahun, dan menyadari betapa berbeda keduanya. Jeroen yang ekstrover,
atletis, diplomatis, senang bergaul dan berorganisasi, adalah cetak biru
ayahnya. Sementara Keenan yang introver, halus, tidak menyukai keramaian, dan
lebih senang menyendiri untuk melukis, adalah cetak biru dirinya. Namun, Keenan
dan Jeroen saling menjaga dan mengagumi seperti magnet yang lekat erat. Bagi
Jeroen, Keenan adalah idolanya nomor satu.
Dan Keenan menyayangi Jeroen
lebih dari apa pun. Jeroen seperti orang patah hati ketika Keenan harus pergi
ke Amsterdam, dan kini ia harus melepas abangnya lagi untuk bersekolah di
Bandung.
“Ma, aku bolos sehari, deh. Aku
juga mau ke Bandung. Ketemu Mas Eko,” rengek Jeroen. Permohonannya sudah
ditolak mentah oleh ayahnya, dan kini ia mencoba celah lain, yakni lewat
ibunya.
Sayang, ibunya tetap menggeleng.
“Nggak bisa, Roen. Kamu harus sekolah.”
“Mama yakin saya dijemput Eko?”
tanya Keenan.
“Ya iyalah. Mama sudah telepon
langsung ke Eko. Memangnya kenapa?”
“Saya nggak ingat mukanya, dia
juga pasti sama. Kami terakhir ketemu kan waktu SD!”
Jeroan langsung menyambar senang,
“Nah! Itu dia, Ma! Kalau aku ikut, aku nanti bisa kasih tahu Mas Eko yang
mana.”
Ibu mereka tersenyum melihat
usaha keduanya. Eko adalah sepupu Keenan yang sejak SMA bersekolah di Bandung
dan kini mereka akan berkuliah di kampus yang sama. Semasa keduanya masih SD,
sebelum Keenan berangkat ke Amsterdam, Keenan dan Eko bersahabat karib. Baru
sekarang lagi mereka akan bertemu setelah terpisah sekian lama.
“Alasan kamu memang masuk akal,
Nan. Tapi Eko sudah Mama pesankan untuk bawa tulisan nama kamu. Jadi, biarpun
kalian tidak hafal muka, kalian pasti akan bertemu,” jawab ibunya sambil
mengerling ke arah Jeroen.
Terdengar suara pintu kamar
membuka, dan melangkahlah keluar ayahnya yang masih berkemeja dan dasi lengkap.
Ia pun telah minta izin dari kantornya demi melepas Keenan ke Bandung.
“Semua barang kamu sudah siap,
Nan?” tanyanya sambil meraih kunci mobil dari meja.
“Sudah, Pa.” Keenan berdiri di
samping satu travel bag.
“Itu saja?”
“Sisanya dipaket ke Bandung,”
timpal ibunya. Dan ujung matanya menunjuk ke sudut yang penuh sesak oleh
tumpukan dus berisi alat lukis.
Ayahnya menghela napas. Riak pada
air mukanya tidak bisa disembunyikan, dan Keenan melihatnya dengan jelas.
Ada suasana mendung yang seketika
menggantung di ruangan itu. Satu demi satu pun melanjutkan kegiatannya
masing-masing tanpa suara.
Bandung, Agustus 1999 …
Tidak ada yang lebih dahsyat
daripada gabungan gerimis hujan di luar dan selimut hangat di dalam kamar.
Demikian prinsip Kugy. Meringkuk di tempat tidur sepanjang sore sambil bermimpi
indah adalah misinya sore itu. Sayangnya, ia lupa mengunci pintu.
Cahaya dari luar seketika
menerangi kamarnya yang temaram. Langkah tergesa dan suara bernada tinggi
mengacaukan suasana hening yang membungkus Kugy seperti kepompong.
“Gy!, Bangun! Pergi, yuk!”
Selimut yang tampak menggunduk
itu tak bergerak.
“Gy, Eko udah di depan. Si Fuad
nggak bisa dimatiin, ntar mogok, Yuk cepetaaan!”
Kugy menyahut dengan gumaman tak
jelas.
Noni terpaksa mengambil tindakan
lebih ekstrem. Dengan gesit ia menyingkap selimut dan memercik-mercikkan air
dari gelas di sebelah tempat tidur.
Kugy menghindar, gelagapan.
“Penyerangaaan! Invasi ruang privaaat!”
“Nggak usah berlagak, deh. Ayo,
bangun.”
Kugy terduduk dengan paksa, mata
terpejam sebelah dan rambut semrawut. “Non, berhubung kamar kita bakal
sebelahan setidaknya dalam empat tahun ke depan, gua jelaskan satu aturan yang
sangat penting, oke. Tidur siang adalah momen sakral buat gua. Bonus hujan,
lagi! Harusnya lu masuk ke sini pun jalannya pake lutut dan sungkem dulu ke
kaki tempat tidur ….”
“Kita jemput sepupunya Eko ke
stasiun, yuk. Jam lima keretanya nyampe. Lu mau pakai baju yang mana? Biar gua
siapin,” Noni seperti tak mendengar khotbah penting Kugy.
Kedua mata Kugy terbuka. “Bentar
… bentar. Kenapa kok gua harus ikut? Itu kan sepupu si Eko, lu yang pacarnya si
Eko, kenapa gua harus dilibatkan segala?” Kugy berseru putus asa.
“Soalnya … Si Fuad ngadat lagi.
Kalo mogok harus ada yang dorong. Untuk dorong kita butuh tenaga.”
Kugy menganga tak percaya, “Jadi
… gua dibangunin dari tidur suci gua untuk jadi cadangan tenaga ngedorong si
Fuad?”
“Ya iyalah. Buat apa lagi?”
“Nggak sopan, bener-bener nggak
sopan! Gua cuma dianggap kuli dorong mobil …,” sambil menggerutu Kugy bangun.
“Mau pakai baju yang mana?”
“Yang ini!” Kugy menunjuk pakaian
yang menempel ditubuhnya. Celana batik selutut yang sudah mengusam, dan kaus
kegedean bertuliskan “Lake Toba” yang sudah tipis dan lentur seperti lap dapur.
“Yah, jangan gitu-gitu amat,
dong, Gy. Lu ngambek, ya?”
“Oh, nggak. Gua cuma berdandan
sesuai kasta gua aja. Kuli dorong mobil. Ayo, cabut!” sahut Kugy seraya menyambar
jaket jins di gantungan.
Noni memandang temannya dengan
khawatir. Rambut sebahu Kugy sebagian naik ke atas seperti disasak setengah
jadi. Bajunya mendekati compang-camping. Jaket jins kegombrongan milik Karel
yang digondol Kugy detik-detik terakhir sebelum dia berangkat ke Bandung itu
pun tentu tidak membantu. Belum lagi, jam tangan plastik Kura-kura Ninja yang
nyaris tak pernah lepas dari pergelangan tangannya Lalu sandal khusus kamar
mandi dari bahan plastik berwarna pink elektrik seolah menyempurnakan
“keajaiban” penampilan Kugy sore itu.
Namun, Kugy berjalan mantap
keluar menantang dunia, disambut Eko yang kontan meringkuk-ringkuk tertawa
melihat pemandangan nyentrik itu.
“Gy! Lu kayak gembel baru gila!
Keren!” teriak Eko sembari merogoh-rogoh ransel mencari kamera. “Siap … satu,
dua, tiga, pose!”
Dengan cepat Kugy langsung
membengkungkan kedua lengannya seperti atlet binaraga.
“Sip. Gua cetak 5R, nanti gua
pajang di mading kampus.” Eko tersenyum puas.
“10R lah, Ko. Standar majalah,
dong.”
“Orang gila lu layanin, ya makin
senanglah dia. Lihat tuh, mukanya hepi gitu ….” Noni menunjuk Kugy yang sedang
mematut-matut diri di spion mobil Eko, mulai menyadari betapa aneh dandanannya,
dan mulai tertawa-tawa bahagia tanda menikmati.
Melihat itu, Eko juga mulai
khawatir. “Lu tahu betapa gua menghargai setiap liter bensin, kan, Gy? Dan gua
nggak bisa matiin mesin mobil karena takut mogok. Tapi gua akan merelakan lima
menit buat lu untuk ganti baju. Kalau lu mau,” kata Eko penuh penekanan. Dia
sebetulnya sudah bisa menduga pilihan Kugy.
“Daripada bensin lima menit lu
habiskan buat tunggu gua ganti baju, mendingan lu konversi jadi duit terus
beliin gua minum. Jadi kuli gampang haus! Yuk!”
Jawaban tegas Kugy menuntaskan
kontroversi sore itu, dan meluncurlah Fiat 124S kuning itu memecah air di atas
jalanan Kota Bandung yang basah.
Lautan penumpang kereta api telah
melewati tiga sekawan itu sejak sepuluh menit yang lalu, tapi mereka belum juga
menemukan objek jemputannya. Noni dan Kugy sudah mulai resah.
“Lu yakin dia pakai kereta jam
lima? Kok nggak muncul-muncul?” tanya Kugy pada Eko yang celingak-celinguk
tiada henti.
“Gua yakin dia pakai kereta yang
ini. Masalahnya, gua nggak tahu mukanya.”
“HAH?” teriak Kugy dan Noni
hampir berbarengan.
“Kok kamu nggak bawa tulisan atau
apa, kek?” cecar Noni.
Eko nyengir masam. “He-he,
ketinggalan, Non.”
“Ampun, deh! Kalau bilang dari
tadi kan aku bisa cari kertas sama pulpen!” omel Noni.
“Tenang … muka sepupuku tuh unik,
kok … pokoknya gimana, ya … hmm ….”
“Kapan kalian terakhir ketemu?”
tanya Kugy.
“Waktu SD,” Eko menjawab setengah
menggumam.
Kugy dan Noni langsung
berpandang-pandangan. Noni memutuskan untuk lanjut mengomel, sementara Kugy
bergegas ke arah muka stasiun.
Dari jauh, Kugy membalikkan
badan. “KO! Siapa nama sepupu lu?”
“Keenan!”
“KEENAN?”
Bersamaan dengan itu muncul
serombongan orang yang menghalangi pandangan keduanya. Kugy berharap ia tak
salah mendengar. “Keenan … Keenan …,” ulangnya sendirian sambil terus berjalan.
Tak jauh dari sana, seseorang
merasa namanya dipanggil. Keenan merasa sumbernya adalah perempuan yang sedang
bergerak ke arahnya. Keenan mengamati dengan saksama. Ia yakin belum pernah
berkenalan dengan cewek satu itu seumur hidupnya. Tepatnya, ia belum pernah
menemukan orang dengan penampilan seaneh itu.
Ragu, Keenan mendekati,
menjajarkan langkahnya dengan kaki kecil yang melangkah besar-besar dan
terburu-buru.
“Permisi ….”
Kugy berhenti, tertegun menatap
orang yang tahu-tahu muncul di sampingnya dan kini mengadang persis di hadapan.
Keenan mengamati sekali lagi. Perempuan mungil setinggi dagunya, kelihatan
seperti anak SMP, gaya berbusana tidak ada juntrungnya, rambut seperti orang
baru kesetrum, kedua mata membelalak seperti mengancam. Mendadak Keenan
menyesal telah memanggil.
“Ada apa, ya?” tanya Kugy dengan
suara dibesar-besarkan. Berusaha sangar.
Setengah mati Keenan menahan
senyum gelinya yang spontan ingin membersit. Ternyata ia berhadapan dengan anak
kucing yang berusaha jadi singa.
“Nggak pa-pa. Saya salah
mengenali orang. Saya pikir tadinya kamu … emm … maaf, ya.” Keenan mulai
bingung menjelaskan, dan akhirnya hanya tersenyum lebar lalu ambil langkah
seribu. Namun, dalam hati ia tahu, ia tidak akan pernah melupakan wajah itu.
Kugy pun hanya mengangguk kecil,
lalu berjalan lagi ke arah bilik informasi yang menjadi tujuannya. Napasnya
baru lepas setelah ia yakin orang itu sudah hilang jauh di balik punggungnya.
Sejujurnya, ia tidak keberatan salah dikenali.
Laki-laki tadi adalah makhluk
tertampan yang pernah ia temui sejak tokoh Therrius dalam komik Candy-Candy.
Namun, harus selalu waspada dengan semua makhluk sok akrab, tegas Kugy dalam
hati. Lebih baik konsentrasi mencari sepupu Eko nan malang, ia pun memotivasi
diri. Berusaha melupakan apa yang baru ia lihat.
---------------------------------------------------------------------
BAB 3
MOTHER ALIEN
Noni dan Eko, yang mulai putus
asa menunggu di tempat sama, akhirnya berjalan ke teras depan stasiun. Suasana
mulai lengang, tinggal segelintir orang yang tersisa.
“Aku coba telepon ke rumah
tanteku, deh. Siapa tahu memang dia pakai kereta yang lain. Pinjam HP ya, Non.
Pulsa cekak, nih.”
Sambil memberengut, Noni
menyerahkan ponselnya. Namun, tangannya tergantung di udara, karena tiba-tiba
terdengar suara yang sangat ia kenal bergaung lewat speaker seantero stasiun.
“Panggilan untuk Keenan penumpang
KA Parahyangan dari Jakarta, sekali lagi, saudara Keenan, sepupu dari Eko
Kurniawan, ditunggu oleh saudara Eko yang ciri-cirinya sebagai berikut: rambut
cepak berjambul Tintin, tinggi 175 cm, kulit cokelat sedang, mata besar bulu
mata lentik, pakai kaus Limpbizkit, ditemani oleh dua cewek cakep ….”
Noni dan Eko melongo. Keduanya
menoleh ke belakang, melihat Kugy di bilik informasi sedang menguasai mikrofon.
Tak lama seorang petugas datang tergopoh-gopoh untuk mengendalikan situasi.
Seorang anak kurang ajar rupanya telah menjajah daerah kekuasaannya saat ia
pergi sebentar ke kamar mandi barusan.
Tak hanya Noni dan Eko yang ikut
menoleh, seorang pemuda yang berdiri tak jauh dari mereka pun ikut melongok.
Dan kini orang itu yakin bahwa perempuan aneh yang kini tengah diusir petugas
itu memang orang sama yang memanggil namanya tadi.
Sambil tertawa riang, Kugy
menghampiri Noni dan Eko. “Ha-ha … salah sendiri posnya ditinggal ….”
Dari arah lain, tampak satu sosok
mendekati mereka bertiga.
Baru saja Keenan mau mengucap
“permisi” untuk yang kedua kalinya, matanya tertumbuk pada wajah yang kali ini
rasanya ia sungguhan kenal.
“Eko?” panggilnya setengah
meragu.
“Keenan?” Eko membalas sama
ragunya.
Keduanya tercenung memandangi
satu sama lain. Dalam koridor memori masing-masing, ingatan mereka berkejaran
menuju ke sembilan tahun lalu. Dalam ingatan Keenan, Eko adalah anak berbadan
besar cenderung tambun, periang, bermata cantik seperti anak perempuan dengan
bulu mata lebat dan lentik. Dalam ingatan Eko, Keenan adalah anak bule berambut
kecokelatan, kurus dengan tungkai-tungkai panjang, bersorot mata teduh dan
selalu tersenyum ramah, tapi jarang bicara. Dan sekarang Keenan menjulang
tinggi dan tegap, rambutnya yang diikat tak lagi cokelat melainkan hitam pekat,
tampak terjurai sedikit melewati pundak. Hanya sorot matanyalah yang tak
berubah, yang sejak kecil membuat Keenan tampak lebih dewasa dari umurnya.
Keenan pun tak akan mengenali sepupunya jika saja tidak menemukan kedua mata
bundar yang dinaungi bulu-bulu lentik yang sejak dulu menjadi ciri khas Eko,
yang membuatnya dulu dipanggil “Si Cowok Cantik”. Sekarang sepupunya sudah
tidak bulat lagi seperti bola, malah lebih mirip pelatih fitness.
Jarak sembilan tahun itu seketika
melumer ketika keduanya berdekapan sambil tertawa bersama, menyadari bahwa
sejak tadi mereka ternyata berdiri bersisian.
“Bener juga kata Tante Lena, lu
udah makin kayak senIman sekarang!” seru Eko sambil menepuk bahu Keenan.
“Kenalin, Nan. Ini cewek gua, Noni. Dan ini sahabatnya Noni ….”
Hanya Kugy yang tampak menyimpan
kepanikan saat berkenalan dengan Keenan. Wajahnya bersemburat merah saat ia
mengulurkan tangan, “Hai. Kugy ….”
Keenan tersenyum lebar menyambut
tangan mungil dengan muka yang kini merunduk malu itu. Betulan seperti anak
kucing. “Hai. Akhirnya kenalan juga.”
“Memangnya kalian udah ketemu?”
komentar Eko melihat pemandangan ganjil itu. Kugy yang tahu-tahu melempem
seperti kerupuk disiram air, sementara ekspresi Keenan seperti orang yang
menangkap basah sesuatu.
“Belum!” Keduanya menjawab
kompak. Mereka berdua berpandangan lalu tertawa.
“Sudah!” ralat keduanya lagi,
juga bersamaan. Dan mereka tertawa lagi.
“Gimana, sih?” Eko dan Noni mulai
merasa ada konspirasi di balik ini semua.
“Mungkin kita sudah ketemu di
kehidupan lampau ….” timpal Kugy cepat.
“Yup . Dan dulu dia galak
sekali.” Keenan ikut menambahkan, mantap.
Eko melengos melihat keduanya,
malas mempermasalahkan apakah dua orang itu serius atau bercanda. “Dari dulu
dia udah hancur gini belum dandanannya?” celetuknya sambil menunjuk Kugy.
“Oh, selalu!” Keenan nyengir.
Kugy ikut mengekeh, bangga.
Percaya dirinya sudah kembali. Seketika ada keakraban yang juga mencairkan
jarak dan waktu di antara mereka berempat, seolah mereka telah berkenalan jauh
lebih lama dan bukannya barusan.
Tak lama kemudian, hujan kembali
mengguyur Kota Bandung. Sebuah Fiat warna kuning terang tampak berusaha keras
keluar dari parkiran stasiun. Noni di belakang kemudi, sementara ketiga
temannya mendorong di belakang. Tubuh mungil Kugy diapit oleh kedua lelaki
besar di kiri-kanan, tapi jelas suara lantangnya yang berfungsi sebagai mandor.
Ia berteriak-teriak sekuat tenaga untuk membakar semangat, sampai akhirnya Fiat
itu berhasil kembali melaju dengan tenaga mesin. Bukan manusia.
Dering telepon meraung-meraung di
koridor kos-kosan itu sejak tadi, bersahutan dengan derap kaki yang berlari dan
teriakan berulang-ulang: “Nggak usah diangkaaat! Itu buat sayaaa!”
Kugy menyambar kop telepon dan
terengah menyapa, “Halo ….”
“Hai, Sayang.”
“Hai, Jos ….”
“Kamu baru jogging ? Tumben
rajin.”
“Bukan. Baru dorong mobil.”
“Hah?”
“Hujan-hujanan lagi. Gede
banget.”
“HAH? Kok bisa?”
“Biasa. Fuad lagi penyakitan,
sementara Eko harus jemput sepupunya ke stasiun, yang dari Belanda itu lho,
terus mereka butuh aku untuk dorong mobil kalau-kalau mogok. Eeeh … dasar si
Fuad, beneran mogok dia.”
“Gila ya si Eko! Nggak ada orang
lain, apa? Masa kamu yang mereka andalkan? Di stasiun kan banyak kuli. Bayar
kek buat dorong mobil, ngemodal dikit. Nanti kalau kamu flu gara-gara
kehujanan, memangnya si Eko atau si Fuad bisa gantiin kamu kuliah?”
“Jos, nggak pa-pa, kok. Yang
dorong beneran kan Eko sama sepupunya. Aku cuma nyumbang spirit sama akting
ngedorong doang.”
“Tapi tetap hujan-hujanan, kan?”
“Iya, siiih ….”
“Nah, itu dia!” Dan banjiran
kalimat berikutnya terus mengalir tanpa jeda.
Kugy menunggu sambil memanyunkan
mulut dan memeras ujung-ujung kausnya yang basah. Ia memang tak akan pernah
bisa menang jika beradu mulut dengan Joshua, pacarnya sejak dua tahun terakhir.
Kendati begitu, Joshua pun seringkali mati kutu jika berhadapan dengan Kugy.
Buktinya, dia harus merelakan namanya yang indah ”dirusak” menjadi “Ojos”, dan
hanya Kugy satu-satunya di dunia yang berani melakukan itu.
Bagi Kugy, ungkapan opposite
attract adalah yang paling sempurna untuk menggambarkan dinamikanya dengan
Ojos. Tak ada satu pun temannya yang percaya bahwa keduanya bisa jadian, begitu
juga dengan teman-teman Ojos. Keduanya bertolak belakang hampir dalam segala
hal. Ojos yang necis dan jago basket adalah pujaan banyak cewek di sekolah
karena kegantengannya, mobilnya yang keren, dan sikapnya yang sesuai primbon
Prince Charming. Membukakan pintu, membawakan seikat bunga, dan makan malam di
restoran mewah bertemankan sinar lilin, adalah standar prosedur.
Ojos. Di sisi yang berbeda, Kugy
pun termasuk sosok populer di sekolah karena aktivitas dan pergaulannya yang
luas. Tapi Kugy berasal dari kutub yang berbeda. Kugy dikenal dengan julukan
Mother Alien. Ia dianggap duta besar dari semua makhluk aneh di sekolah.
Semuanya tak habis pikir, bagaimana mungkin Prince Charming dan Mother Alien
bisa bersatu?
Tidak juga Ojos, atau Kugy, tahu
jawabannya. Mungkin karena Kugy begitu berbeda dengan semua cewek yang pernah
dipacarinya, Ojos begitu terkesima melihat bagaimana Kugy begitu santai dan
berani menjadi dirinya sendiri, sementara cewek-cewek lain sibuk mencari muka
hanya supaya Ojos mau mengajak mereka makan atau nonton barang sekali saja.
Kugy sendiri tak pernah menganggap Ojos serius mendekatinya karena menyadari
betul perbedaan mencolok di antara mereka berdua. Kugy tak sadar, sikapnya
justru membuat Ojos semakin penasaran.
Kugy tak akan pernah lupa hari
mereka jadian. Pada sore itu, hujan pun turun sama lebatnya. Dan Ojos keburu
menerima tantangan Kugy untuk bertandang ke rumahnya pakai kendaraan umum.
Datanglah Ojos di depan pintu, basah kuyup karena gengsi bawa payung, rambut
rapinya layu ditimpa air hujan, dan seikat mawar putihnya berantakan tergencet
punggung orang di Metro Mini. Dan kali itu, Kugy melihat Ojos dengan pandangan
lain, bukan lagi anak manja yang dipuja-puja satu sekolah, melainkan seseorang
yang siap berkorban demi pilihan hatinya. Dan hati Kugy pun akhirnya memilih.
Hampir dua tahun mereka pacaran,
dan mereka tetap dua manusia yang bertolak belakang. Di mata Kugy, Ojos yang
perhatian dan cerewet kadang-kadang berfungsi sebagai penata hidupnya dan
kaki-kaki yang membantunya menjejak bumi saat terlalu lama berada di dunia
khayal. Di mata Ojos, Kugy yang cuek dan seenaknya terkadang menjadi pengingat
bagi dirinya untuk bersikap santai dan terbuka bagi segala kejutan dalam hidup.
Cukup banyak penyesuaian yang
mereka pelajari selama dua tahun ini. Salah satu trik yang dipelajari Kugy
kalau Ojos sedang kambuh cerewetnya adalah menjauhkan sedikit gagang telepon
lalu mencari kesibukan lain, dan kini ia masih asyik memeras ujung-ujung
bajunya.
“Gy? Kugy? Denger nggak?”
Kugy tersadar dan buru-buru
mendekatkan gagang telepon. “Kenapa? Sori tadi kresek-kresek ….”
“Tadi aku bilang, lain kali kamu
naik taksi aja ke mana-mana, jangan percaya deh sama si Fuad. Udah sering kamu
dikerjain mobil satu itu.”
“Ogah, ah. Naik taksi mahal. Kalau
dorong Fuad, udahannya malah suka dijajanin minum sama Eko.”
Ojos menghela napas. Putus asa.
“Ya udah. Terserah. Ganti baju gih, nanti masuk angin. Oh, ya, kapan dong kamu
beli HP baru? Masa kalau mau telepon harus ke kosan terus. Kan enakan ngobrol
di kamar.”
Ponsel Kugy, produk second
keluaran empat tahun yang lalu, sudah tak berfungsi lagi layarnya. Selama ini
ia terpaksa menggantungkan nasib pada feeling, dari mulai urusan memencet nomor
sampai menerima telepon. Alhasil, Kugy kehabisan banyak pulsa karena salah
sambung, dan tak berhasil menghindari telepon-telepon yang tak diinginkan
karena tidak tahu siapa gerangan yang meneleponnya.
“Aku nabung dulu, ya, Jos. Aku
lagi bikin cerpen, nih. Kali ini aku mau coba kirim ke majalah. Jadi ada
penghasilan. Malu minta sama Bokap. Lagian kalo buat HP kayaknya nggak akan
dikasih.”
“Kamu lagi bikin cerita apa?”
“Aku lagi bikin cerpen cinta
gitu. Kalau dimuat, honornya cukupan beli HP baru.”
“Pasti dimuat. Kamu kan hebat.
Ceweknya siapa dulu …”
“Oh, ya, aku juga lagi bikin
dongeng tentang sayur-sayuran. Jadi gini, tokoh utamanya Pangeran Lobak dari
kerajaan Umbi, lalu tokoh antagonisnya penyihir namanya Nyi Kunyit dari negeri
Rempah …”
Ojos punya trik jika Kugy sedang
berceloteh tentang dunia khayal yang tak ia mengerti, yakni menjauhkan gagang
telepon sedikit dan mencari kesibukan lain. Ojos mulai membuka-buka tumpukan
majalah otomotif di hadapannya, sementara mulutnya sesekali membuka, “Oh, ya?
Hmm. Oooh. Ya, ya. Hmm. Oh, ya? Hmm ….”
“Seru, kan? Hebat nggak ceritaku?
Jos? Halo?”
Ojos tersadar dan buru-buru
mendekatkan gagang telepon. “Wow! Gila. Seru banget! Ya udah, kamu mandi, gih.
Besok aku telepon lagi ya, Sayang. Bye!”
“Dah!” balas Kugy. Baru saja Kugy
hendak bangkit berdiri, tahu-tahu selembar handuk telah dilemparkan ke
pangkuannya.
“Diomelin sama Ojos, ya?” tanya
Noni yang sudah berdiri di depan Kugy.
“Yah, biasalah. Kayak nggak tahu
aja. Dia kan jelmaan lu dalam bentuk laki-laki,” ujar Kugy sambil terkekeh.
“Nanti malam diajak makan sama
Eko. Gabung, yuk.”
Kugy menelan ludah. “Pakai Fuad
lagi?”
“Fuad tewas. Besok masuk bengkel
dulu. Rencananya Eko dan Keenan mampir ke sini pakai angkot, nanti kita jalan
kaki aja cari yang dekat-dekat, atau pesan makanan lewat telepon.”
“Terima kasih ya, Tuhan! Makan
gratis! Nggak pakai dorong!” Kugy melonjak girang dan menghilang di balik pintu
kamar mandi.
---------------------------------------------------------------------
BAB 4
LINGKARAN SUCI
Di ruangan tamu yang digunakan
bersama itu, tampak karton pipih lebar bekas pizza menganga terbuka. Sebuah
teve yang tak ditonton menyala dengan suara sayup. Empat orang duduk di lantai,
berbincang asyik sambil tertawa-tawa, dengan dus pizza kosong sebagai pusat
bagaikan kawanan Indian yang mengelilingi api unggun.
“Kugy … giliran lu kasih ide.”
“Oke,” Kugy berdehem, “di
lingkaran suci ini, sebutkan hal paling aneh yang pernah kita lakukan. Ayo,
yang jujur, ya!”
“Maaf, sebetulnya gua kurang
setuju,” Noni angkat tangan, “karena bagi Kugy semua hal nggak ada yang aneh,
termasuk yang paling aneh sekalipun untuk ukuran orang normal.”
Mereka tergelak-gelak, termasuk
Kugy. “Itu memang apesnya lu aja, Non. Dan untung di gua,” celetuk Kugy.
Noni berpikir sejenak. “Waktu SD
gua pernah ikut drama sekolah, dan dapat peran jadi …. Pak Raden. Lengkap
dengan kumis palsu.”
Semua terkikik-kikik.
“Secara fisik lu memang kurang
cocok, Non.”
“Tapi karakter pas banget.”
Giliran Keenan. “Hmm. Lipsync
lagu Meggy Z. Lengkap dengan joget.”
Pengakuan Keenan disambut sunyi.
Semua terlongo, takjub.
Melihat reaksi itu, Keenan merasa
perlu memberikan penjelasan. “Jadi, waktu itu ada malam kesenian di sekolah gua
di Amsterdam, dan karena mereka tahu gua dari Indonesia, gua diminta
menyumbangkan satu kesenian yang khas Indonesia. Yah, cuma itu yang gua bisa.
Tapi mereka suka banget. Satu sekolah ikut joget.”
“Lagu yang mana?”
“Sakit Gigi.”
Sunyi lagi. Tiba-tiba terdengar
suara tepuk tangan yang diprakarsai oleh Eko. Tak lama, yang lain mengikuti.
“Terima kasih, terima kasih,”
Keenan membungkuk hormat.
Giliran Kugy. Anak itu berpikir
keras. Betul kata Noni, pikirnya, berhubung hampir semua yang ia lakukan
cenderung aneh, susah sekali memilih satu.
“Ayo, dong. Lama banget, sih,”
desak Eko tak sabar.
“Bentar, bentar. Susah banget,
nih,” gumam Kugy. Mukanya berkerat-kerut tanda berpikir keras.
“Mau dibantu, Gy?” Tahu-tahu Noni
memberi usul.
“Please.”
“Kugy suka kirim surat ke Dewa
Neptunus,” ungkap Noni sambil menahan geli.
Alis Keenan seketika bertemu.
“Gimana caranya?”
“Oh, gampang. Dulu, waktu rumah
gua masih di dekat pantai, ya gua hanyutkan di laut. Sesudah itu dihanyutkan
saja di segala aliran air, karena semua aliran air bermuara ke laut.” Kugy
langsung duduk tegak dan menjelaskan dengan semangat.
“Terus, tujuannya lu kirim surat
apa?” Eko bertanya.
“Teman-teman, sudah saatnya
kalian tahu bahwa gua ini sebetulnya …,” Kugy menahan napas, suaranya bergetar
“… alien.”
Sunyi yang lebih mencekam, atau
tepatnya mencekik, seketika memberangus mereka. Eko sudah mau mati menahan
semburan tawa.
“Gua sebetulnya anak buah
Neptunus yang dikirim ke Bumi untuk jadi mata-mata,” papar Kugy lagi, “dan,
SECARA KEBETULAN SEKALI, zodiak gua Aquarius. Ajaib, kan?” tambahnya dengan
mata berbinar-binar.
“Sama, dong. Gua juga Aquarius,”
sahut Keenan.
“Yo! Brotha’!” Kugy kontan
menjabat tangan Keenan.
Eko membelesakkan kepalanya ke
dalam bantal. Tertawa terpingkal-pingkal. “Kok gua serasa ada di tengah alien
nation gini, ya?” cetusnya dari dalam benaman bantal.
“Betul, kan? Tantangan ini memang
nggak relevan buat si Kugy,” kata Noni lagi, “ayo, giliran kamu, Ko.”
“Dengan segala hormat, tapi hal
paling aneh yang pernah gua lakukan adalah … naksir Kugy.”
Keenan terbahak keras, diikuti
Kugy yang sampai terguling di lantai. Sementara mulut Noni menganga tak
percaya, “Kamu pernah naksir Kugy? Ka—kapan?”
“Yah, waktu aku kelasnya
sebelahan sama dialah, pas kelas 2 SMP. Untung kamu udah keburu pindah, Sayang.
Jadi nggak perlu ikut menyaksikan aib ini,” Eko menepuk bahu Noni, “tenang, Non.
Langsung menyesal, kok. Dulu aku sering ke taman bacaannya Kugy. Bisa naksir
karena setiap ketemu Kugy selalu pas dia lagi baca buku. Begitu ngobrol … bubar
jalan!” Eko pun tergelak-gelak.
“Terus, kok kalian bisa …
jadian?” Keenan perlahan menunjuk Eko dan Noni.
Eko langsung pasang tampang
serius. “Sebetulnya cinta sejati gua adalah Noni, Nan. Gua udah naksir dia dari
kelas 1 SMP ….”
“Alah! Gombal! Kenal aja belum!”
semprot Noni. “Kamu kan kenal aku justru setelah aku pindah. Gara-gara pernah
ketemu aku di rumah Kugy, kan? Yang mungkin waktu itu kamu masih jadi pelanggan
setia taman bacaannya dalam rangka pe-de-ka-te! Baru deh, sok akrab, sok udah
naksir aku dari kelas 1, padahal aku yakin kamu tahu aku aja nggak,” cerocos
Noni sengit.
“Ya’elah, Non. Dendam banget,
sih. Namanya juga usaha. Bokis dikit kan biasa. Yang penting hasilnya …” Eko
membujuk-bujuk.
“Jadi kalian dicomblangin Kugy?”
tanya Keenan lagi.
“Boro-boro!” Kali ini Eko dan
Noni satu suara.
Kugy menggeleng, “Sori. Aku
paling anti percomblangan dan segala usaha perjodohan lainnya,” sahutnya kalem.
“Si Semprul satu ini justru orang
yang paling menghalang-halangi, tahu nggak?” sambar Eko lagi. “Masa dia pernah
bilang ke Noni kalo gua itu spesies berbahaya?”
“Yah, gua kan cuma menganalisa
dari statistik pengembalian buku lu, Ko. Dan judul-judul apa yang lu pinjam. No
hard feeling, dong.”
“Tuh! Kebangetan nggak dia? Masa
prospek gua dihancurkan gara-gara track record kartu anggota taman bacaan?”
“Memangnya Eko pinjam buku apa
aja?” tanya Keenan pada Kugy. Betulan penasaran.
“Dua tahun jadi anggota masa cuma
pinjam Godam si Putera Petir? Dan lebih dari sepuluh kali dia pinjam yang
judulnya Anak Rabaan Setan,” jawab Kugy, “terakhir-terakhir malah udah nggak
dibalikin! Gimana aku nggak curiga?”
Menyusul seketika ledakan tawa
Keenan dan Noni. Wajah Eko merah padam. Kali ini ia terpaksa bungkam.
Kugy berdehem lagi. “Nah.
Berhubung segala sesuatu yang berhubungan dengan gua adalah keren adanya, jadi
gua nggak aneh. Dan Eko, yang harusnya lebih aneh karena bisa suka sama orang
aneh bahkan jadi anggota perpustakaan orang aneh dengan pilihan buku yang aneh,
akhirnya juga jadi nggak aneh. Kalau begitu, pemenang lingkaran suci kali ini
adalah ….”
“Keenan!” Mereka bertiga berseru
kompak.
Malam itu ditutup dengan Keenan
yang memperagakan lipsync lagu Sakit Gigi-nya Meggy Z.
“Hai. Boleh masuk?”
Kugy yang sedang mengetik di
komputer terkejut melihat Keenan muncul di pintu kamarnya yang setengah
terbuka.
“Lho. Belum pulang?” tanya Kugy
sambil melirik jam yang sudah menunjukkan pukul sepuluh lewat.
“Pinginnya, sih. Tapi nggak enak
ganggu yang pacaran. Cuma bingung juga bengong di luar.”
Kugy pun segera membukakan pintu.
“Silakan masuk, Meneer.”
Keenan melihat sekitar, tampak
terkesan.
“Kenapa? Kamarku rapi, ya? Nggak
matching sama yang punya.”
“Iya. Saya nggak sangka,” jawab
Keenan jujur. Matanya lalu berlabuh pada sebuah pigura berisikan foto keluarga
Kugy.
“Keluarga besarku. The ‘K’
family. Lima bersaudara.
Nama depannya dari ‘K’ semua,”
Kugy menjelaskan, “Ini abangku paling besar, Karel. Kakak perempuanku, Karin.
Ini abangku yang cuma beda setahun sama aku, Kevin. Dan adik bungsuku, Keshia.”
“Nama kamu yang paling unik, ya.”
“Tepatnya, yang paling aneh,”
Kugy tergelak, “kayaknya waktu itu orangtuaku habis bahan. Masih untung nggak
jadi Karbol.”
“Tapi kamu yang paling cantik.”
Mendadak kerongkongan Kugy
seperti tercekat. Tangannya serta-merta menunjuk ke arah rak buku tempat
koleksi komik dan buku dongengnya berbaris rapi, demi mengalihkan pembicaraan.
“Ini sebagian kecil koleksiku. Yang di rumah jauh lebih banyak.”
“Kata Eko, kamu suka nulis
dongeng, ya?”
“Iya. Hobi sejak kecil.”
“Tulisan kamu udah banyak?”
“Kalau kuantitas sih banyak, tapi
pembaca nggak ada. Dan bukannya tulisan baru bermakna kalau ada yang baca?”
Kugy tertawa kecil, “Sejauh ini sih cuma dinikmati sendiri aja.”
“Kenapa gitu?”
“Siapa sih yang mau baca
dongeng?” Kugy terkekeh lagi. “Mungkin aku harus jadi guru TK dulu, supaya
punya pembaca. Minimal dongengku bisa dibacakan di kelas.”
“Banyak penulis cerita dongeng
yang bisa terkenal, dan nggak harus jadi guru TK dulu untuk punya pembaca.”
Senyum simpul mengembang di wajah
Kugy, seolah-olah hendak menjawab pertanyaan klasik yang sudah ia hafal mati
jawabannya. “Keenan, umurku 18 tahun, kuliah jurusan Sastra, kepingin jadi
penulis serius dan dihargai sebagai penulis serius. Orang-orang di lingkunganku
kepingin jadi juara menulis cerpen di majalah dewasa, atau juara lomba novel
Dewan Kesenian Jakarta, dan itu menjadi pembuktian yang dianggap sah. Sementara
isi kepalaku cuma Pangeran Lobak, Peri Seledri, Penyihir Nyi Kunyit, dan banyak
lagi tokoh-tokoh sejenis. Di umurku, harusnya aku nulis kisah cinta, kisah
remaja, kisah dewasa ….”
“Banyak cerita dongeng yang
isinya kisah cinta.”
“Intinya adalah: semua itu nggak
matching! Antara umurku, profilku, cita-citaku, pembuktian yang harus aku raih,
dan isi kepala ini.”
“Saya masih nggak ngerti.” Keenan
melipat tangannya di dada.
“Waktu aku kecil, punya cita-cita
ingin jadi penulis dongeng masih terdengar lucu. Begitu sudah besar begini,
penulis dongeng terdengar konyol dan nggak realistis. Setidaknya, aku harus
jadi penulis serius dulu. Baru nanti setelah mapan, lalu orang-orang mulai
percaya, aku bisa nulis dongeng sesuka-sukaku.”
“Jadi … kamu ingin menjadi
sesuatu yang bukan diri kamu dulu, untuk akhirnya menjadi diri kamu yang asli,
begitu?”
“Yah, kalau memang harus begitu
jalannya, kenapa nggak?”
“Bukannya itu yang nggak matching?”
tanya Keenan lagi, tajam.
“Asal kamu tahu, di negara ini,
cuma segelintir penulis yang bisa cari makan dari nulis tok. Kebanyakan dari
mereka punya pekerjaan lain, jadi wartawan kek, dosen kek, copy writer di biro
iklan kek. Apalagi kalau mau jadi penulis dongeng! Sekalipun aku serius
mencintai dongeng, tapi penulis dongeng bukan pekerjaan ‘serius’. Nggak bisa
makan.”
“Tadi kamu makan pizza. Nggak ada
masalah, kan? Artinya kamu bisa makan.”
“Aku harus bisa mandiri, punya
penghasilan yang jelas, baru setelah itu … TER-SE-RAH,” nada suara Kugy mulai
tinggi, “aku nggak tahu kamu selama ini ada di planet mana, tapi di planet
bernama Realitas ini, aturan mainnya ya begitu.”
Keenan terdiam. Di kepalanya
melintas gulungan-gulungan kanvas bertorehkan lukisan yang ia tinggalkan di
Amsterdam. “Betul. Memang begitu aturan mainnya,” gumamnya.
Keduanya membisu, cukup lama
hingga suasana di kamar itu terasa menjengahkan.
“Saya tunggu di luar, ya. Siapa
tahu Eko bentar lagi mau pulang.” Keenan pun berjalan ke arah pintu.
“Sebentar,” sergah Kugy, “aku mau
kasih pinjam kamu sesuatu.” Ia lalu membuka lemari kecil di bagian bawah meja
belajarnya dan mengeluarkan bundel tebal berukuran A-4 yang dijilid ring logam.
Keenan menerima bundel yang
disodorkan padanya. Di sampul depannya tertulis: “Kumpulan Dongeng Dari Peti
Ajaib—Oleh: Kugy Karmachameleon”.
“Aku punya peti kuno, dikasih
sama Karel, abangku. Bentuknya kayak peti harta karun yang ada di komik-komik.
Karel bilang, peti itu diambil dari perahu karam, dan isinya gulungan-gulungan
naskah sejarah yang jadi hancur karena terendam air laut. Aku senang sekali
dapat peti itu, dan aku bertekad untuk mengisinya ulang dengan naskah-naskah
dongeng buatanku, supaya peti itu kembali berisikan sesuatu. Aku menulis dengan
super semangat. Bertahun-tahun. Dan jadilah bundel itu. Silakan kamu baca-baca.
Kamu bisa kembalikan kapan pun kamu mau.”
Keenan menatap Kugy, kehilangan
kata-kata. Diusapnya sampul depan bundel itu dengan hati-hati.
“Barang itu belum pernah
berpindah tangan sebelumnya. Aku juga nggak tahu kenapa bisa tergerak
meminjamkannya sama orang yang baru aku kenal tadi sore,” ucap Kugy pelan.
“Makasih. Dan maaf kalau tadi
saya ….”
“Baru beberapa tahun yang lalu
aku tahu kalau peti itu dibeli Karel dan ayahku di toko barang antik, di Jalan
Surabaya, di Jakarta. Peti itu bukan peti harta karun. Bukan juga dari kapal
karam. Sama seperti Neptunus yang tidak ada, dan surat-suratku yang mungkin
cuma jadi mainan ikan, atau jadi sampah yang bikin sungai banjir,” Kugy menatap
Keenan tajam, “dan itulah kenyataan di planet bernama Realitas ini.”
Keenan kembali kehilangan
kata-kata. Keheningan kembali membungkus ruangan itu.
Namun, ada satu hal yang mengusik
Keenan, dan ia memutuskan untuk bertanya. “Nama lengkap kamu Kugy
Karmachameleon?”
“Bukan. Kugy Alisa Nugroho.”
“Jauh, ya?”
Malam itu, Keenan terjaga hingga
larut. Ia tenggelam dalam dunia khayal Kugy yang membawanya jauh ke Negeri
Antigravitia yang menggantung di selapis langit sebelum bulan, ke bawah tanah
tempatnya Joni Gorong si undur-undur penggali, ke dunia sayur-mayur tempat
Wortelina menjadi penari balet yang ternama.
Keenan menyadari betapa
berharganya bundel yang ada di tangannya itu. Setiap helai bernapaskan semangat
dan rasa percaya yang begitu kuat. Sebagian besar naskah itu ditulis Kugy
menggunakan komputer, tapi ada banyak juga yang ia tulis dengan tangan. Bahkan
beberapa kali Kugy kedapatan mencoba menggambar, membuat ilustrasi atas
tokoh-tokohnya sendiri.
Ada rasa haru yang spontan
membersit ketika Keenan melihat usaha Kugy itu. Anak ini adalah penulis yang
luar biasa, tapi dia sama sekali tidak bisa menggambar, komentarnya dalam hati.
Keenan lalu meraih buku sketsanya yang masih baru, meraih peralatannya yang
masih tersimpan di dalam tas, dan ia mulai menggambar dengan tekun. Sepanjang
malam, Keenan membuat puluhan sketsa sekaligus.
Saat ayam berkokok dari kejauhan,
Keenan baru berhenti. Tersadar bahwa baru kali itulah ia menggambar begitu
banyak untuk seseorang yang baru dikenalnya tadi sore.
---------------------------------------------------------------------
BAB 5
SEBATANG PISANG SUSU
Bandung, September 1999 …
Dari kejauhan Kugy seketika bisa
mengenali sosok itu. Tubuh yang menjulang tinggi dengan rambut melewati bahu
yang diikat satu. Di punggungnya tergandul ransel merah marun dengan emblem
huruf “K” warna hitam yang dijahit di tengah-tengah. Dia satu-satunya yang
berambut gondrong di tengah anak-anak angkatan baru yang dipotong cepak
gara-gara ikut opspek. Dia memilih tidak ikut opspek daripada kehilangan
kuncirnya itu—satu-satunya peninggalan otentik dari Amsterdam yang terbawa
sampai ke Bandung, katanya begitu.
“Hey, Kay ….”
“Hey … another Kay.” Keenan
tertawa lebar sambil sekilas mengacak rambut Kugy. “Baru mandi, ya?”
Kugy langsung manyun. “Segitu
kelihatannyakah?”
“Oh, jelas sekali. Rambut kamu
masih basah, dan kamu kelihatan agak cemerlang dari biasa.”
Kugy manyun lagi. “Tumben aku
ketemu kamu di kampus. Kalau bukan kita berempat punya ritual nonton midnight
setiap Sabtu, kayaknya aku nggak akan ketemu kamu di mana-mana lagi. Sibuk,
ya?”
Keenan menebarkan pandangannya ke
sekitar, mengangkat bahu sekilas. “Saya di kampus hanya seperlunya aja. Nggak
terlalu suka nongkrong-nongkrong.”
Kugy ingin berceletuk: pantas
saja. Hampir setiap hari ia melewati Fakultas Ekonomi, tempat Keenan berkuliah.
Dan hampir setiap hari ia melongok untuk melihat keberadaan ransel merah marun
bertuliskan huruf “K” itu. Kugy bahkan sempat curiga jangan-jangan Keenan
sebetulnya kuliah lewat jalur Universitas Terbuka.
“Kalau makan siang di kampus—masih
berminat?” tanya Kugy.
“Tergantung siapa yang ngajak.”
Kugy menggelengkan kepala,
“Jawaban yang salah. Harusnya: tergantung siapa yang bayar.”
“Jadi, saya bakal ditraktir,
nih?”
“Ada satu tempat makan yang wajib
dijajal. Jangan ngaku anak kampus deh kalau belum pernah ke sana ….”
“Enak banget, ya?”
“Bukan. Murah banget.”
“Oh. Pantesan nraktir …,” gumam
Keenan sambil mengekeh pelan.
Warung nasi dengan dinding bambu
itu tampak padat. Orang-orang berderet memilih makanan yang disajikan
prasmanan. Keenan berhenti sejenak untuk membaca plang yang tergantung di
pintu: “Warteg Pemadam Kelaparan”.
Mereka lalu duduk di pojok dekat
jendela, bersebelahan dengan pisang susu yang digantung bertumpuk.
Keenan sungguhan terpana melihat
nasi yang menggunung sampai nyaris tumpah dari pinggiran piring Kugy.
“Kecil-kecil makannya banyak juga, ya,” komentarnya.
“Menurut survei: selain narik
becak dan gali kubur, pekerjaan mengkhayal dan menulis ternyata juga butuh
asupan kalori tinggi,” sahut Kugy, lalu mencabut dua pisang susu yang
bergantung di sebelah kepalanya.
Keenan menatap adegan itu dengan
decak kagum. “Kamu memang makhluk penuh kejutan.”
“Oh! Aku masih punya kejutan
lain. Sebentar …,” Kugy merogoh kantong depan ranselnya, ” … ta-daaa!”
“Handphone?” Keenan memicingkan
mata.
“Baru!” Kugy tertawa lebar,
“Hasil keringat sendiri! Cerpenku dimuat. Honornya cukup buat beli HP baru dan
traktir kamu makan siang sekarang.”
“Wah, kejutan baru lagi. Selamat,
ya,” Keenan menyalami Kugy, “mau baca cerpennya, dong.”
Kugy tampak gelagapan. Mendadak
ia merasa gugup. Sesungguhnya, salah satu alasan ia sering lewat-lewat fakultas
Keenan adalah untuk memberikan majalah yang memuat cerpennya, yang sudah ia
siapkan di dalam ranselnya dan ia bawa setiap hari. Kugy lalu membongkar tasnya
dan menyerahkan majalah yang sudah agak ringsek itu. “Ini, aku sudah siapkan
satu untuk kamu.”
Keenan menerimanya dengan mata
berbinar. “Kugy Karmachameleon … jadi penulis betulan. Hebat.”
Kugy tergelak, “Aku memang sudah
mengusulkan ke mamaku untuk ganti nama jadi Karma. Tapi belum ada tanggapan.”
“Saya boleh kasih tahu kamu
sesuatu? Menurut saya, kamu penulis yang sangat bagus.”
Muka Kugy memerah. “Baca aja
belum, kok bisa bilang bagus ….”
“Saya bukan ngomongin cerpen
kamu, tapi dongeng-dongeng kamu.”
Mendadak Kugy merasa mati gaya.
Mati langkah. Ia tersadar, satu hal langka telah terjadi: dirinya salah
tingkah. Benar-benar tidak tahu harus merespons apa. Akhirnya Kugy mencomot
satu lagi pisang susu. Mengunyahnya lahap.
“Kamu terakhir makan kapan, sih? Lapar
berat, ya?”
“Aku suka lukisan-lukisan kamu.”
“Memangnya kamu udah lihat?”
“Belum. Justru itu. Belum lihat
aja suka, apalagi kalau udah lihat,” Kugy terkekeh sendiri. Ia merasa wajahnya
semakin panas, dan omongannya semakin ngaco.
“Kalau gitu, habis makan siang,
kita ke tempat saya, yuk. Saya mau kasih lihat lukisan-lukisan saya.”
Kugy mengangguk. Ada senyum
spontan yang tak bisa ia tahan. Mendadak ia mensyukuri celetukan asalnya tadi.
Mendadak ia ingin cepat-cepat menuntaskan makan siang ini.
Tempat kos Keenan terletak agak
jauh dari kampus mereka. Sebuah rumah peninggalan zaman Belanda yang
dikelilingi pepohonan rindang. Berbeda dengan tempat kos Kugy dan Noni yang
padat, tempat kos Keenan hanya diisi oleh beberapa orang saja. Kamar-kamarnya
berukuran luas dengan langit-langit yang tinggi.
Napas Kugy seketika tertahan
ketika pintu besar itu terbuka dan Keenan menyalakan sakelar lampu. Rel-rel
kawat bersaling silang di bawah plafon dengan lampu-lampu halogen kecil yang
bergantungan menerangi beberapa spot tempat lukisan-lukisan Keenan yang terpaku
di dinding atau didirikan begitu saja di atas lantai. Kamar dengan ubin abu-abu
itu tampak lengang karena tidak banyak perabot. Hanya satu tempat tidur, lemari
pakaian kecil yang di atasnya diletakkan sebuah mini compo, dan meja belajar
besar tempat alat-alat gambar Keenan berjajar rapi.
“Nan …, harusnya kamu bukan
kuliah Manajemen, tapi Seni Rupa …,” gumam Kugy sambil pelan-pelan melangkah
masuk, “dan ini lebih pantas disebut galeri ketimbang kamar kos ….”
Keenan membawa Kugy berkeliling
melihat lukisan-lukisannya, seperti orang pameran. “Ini judulnya: Sunset from
the Rooftop … ini judulnya: Heart of Bliss … yang ini: The Shady Morning … yang
ini: Silent Confession … dan ini ….”
“Yang ini yang paling aneh,” potong
Kugy, menunjuk lukisan yang hanya seperti gradasi warna dan garis-garis halus
seperti larik-larik kapas. “Yang lain ada gambar orangnya semua. Cuma ini yang
nggak ada.”
“Tebak judulnya apa.”
“Gila, itu sih mission
impossible, namanya. Mana mungkin ketebak.”
“Lukisan yang satu ini jangan
dipikir, tapi harus dirasa. Apa perasaan yang muncul ketika kamu lihat lukisan
ini? Itulah judulnya.”
Kugy menatap lukisan itu
lekat-lekat. Lalu ia memejamkan mata. Lama. Lantas terdengar napasnya
mengembus, dan setengah berbisik ia mengucap, “Bebas.”
Giliran Keenan yang terpaku.
Perlahan, ia membalik lukisan yang berdiri di lantai itu, dan menunjuk judul
yang tertera di baliknya.
Kugy melongo. “Freedom?”
“Sumpah … saya sama sekali nggak
sangka kamu bisa menebak setepat itu,” Keenan garuk-garuk kepala, “ini
kebetulan yang aneh.”
Kugy menggeleng, “Aku nggak
percaya kebetulan. Ini pasti karena kita dulunya sama-sama utusan Neptunus.
Waktu itu, kita dibekali telepati. Cuma, sebelum dikirim ke Bumi, kita dibikin
amnesia. Supaya seru,” katanya mantap.
Keenan manggut-manggut. “Bisa
jadi. Boleh juga teorinya.”
“Ehm, tapi untuk pertanyaan yang
satu ini aku nggak mau menggunakan kemampuan telepati,” Kugy nyengir,
“sebetulnya ini gambar apa, ya?”
“Lukisan ini menggambarkan sudut
pandang seekor burung di angkasa saat terbang. Dia tidak melihat batas apa-apa,
tidak melihat perintang apa-apa, tidak terikat oleh Bumi. Bebas. Total.”
Pandangan Kugy yang tadi melekat
pada lukisan perlahan beralih pada Keenan, ia seperti tergerak untuk menanyakan
sesuatu. “Boleh tahu kapan kamu melukisnya?”
“Waktu tahu saya lolos UMPTN.”
“Kamu … sebetulnya … terpaksa
kuliah di sini, ya?” ucap Kugy hati-hati. Tidak yakin apakah pertanyaan itu
pantas diajukan, tapi mulutnya seperti tak bisa ditahan.
Keenan menatap Kugy balik,
tebersit senyum getir di wajahnya. “Nggak matching,” ujarnya pendek, “antara
minat, cita-cita, dan keinginan orangtua. Harus membuktikan bahwa saya bisa
mandiri lewat melukis, sementara kesempatannya tidak pernah dikasih.” Ia lalu
mengangkat bahu, “Mungkin harus dengan cara yang kamu bilang dulu. Berputar
menjadi sesuatu yang bukan kita, demi bisa menjadi diri kita lagi.”
Ingatan Kugy kembali ke momen di
kamar kosnya dulu. Barulah ia mengerti, sesungguhnya waktu itu Keenan
membicarakan dirinya sendiri. Dan kesunyian yang sama kembali hadir di antara
mereka.
“Dan … karena kamu sudah berhasil
menebak judul lukisan ini, saya mau kasih hadiah.” Air muka Keenan kembali
menghangat.
“Nggak percaya kalau kita bisa
telepati, ya? Aku tuh bukan nebak, tauk … tapi …” celotehan Kugy tahu-tahu
berhenti. Di hadapannya terbentang lembar pertama buku sketsa yang dibuka
Keenan. Perlahan, Kugy meraih buku itu. Membuka lembar demi lembar. “Ini …?”
Keenan menunjuk satu per satu
sketsa tersebut. “Pangeran Lobak … Peri Seledri … Wortelina … Nyi Kunyit … Joni
Gorong … Hopa-Hopi … dan ini lembah tempat mereka tingggal …” dengan asyik
Keenan menjelaskan. Setetes air tiba-tiba jatuh di lembar sketsanya. Keenan
kontan terdiam dan mendongak, mendapatkan Kugy yang sudah berlinangan air mata.
“Aduh. Maaf. Gambarnya kena, ya?
Sori …,” Kugy sibuk menyeka air mata di pipinya.
“Nggak pa-pa, nggak masalah, kok.
Justru … kamu nggak pa-pa?” tanya Keenan khawatir.
Kugy terisak, antara tertawa dan
menangis. “Hi-hi. Aku cengeng, ya? Tapi … seumur hidup belum pernah ada yang
membuatkan ilustrasi buat dongengku … bagus banget lagi … aku … nggak tahu
harus ngomong apa ….”
Keenan tersenyum. “Cerita kamu
yang bagus. Inspiratif. Makanya saya tergerak untuk bikin sketsa.”
“Ini … boleh aku pinjam dulu?”
Kugy mendekap buku itu di dadanya dengan penuh harap.
“Buku itu buat kamu, Gy. Ambil
aja.”
Tak ada yang bisa menahan Kugy
untuk memeluk Keenan, tidak juga dirinya sendiri. Pelukan spontan itu hanya
berlangsung dua detik karena Kugy langsung beringsut mundur dengan muka merah
padam. “Makasih …,” bisiknya nyaris tak terdengar.
Keduanya diam bergeming, antara
rikuh dan tak tahu harus berbuat apa. Sampai akhirnya Kugy memecah kekakuan itu
dengan merogoh saku celananya.
“Untuk sementara … aku cuma bisa
kasih kamu ini.”
Keenan menerima benda yang
disodorkan Kugy. Sebatang pisang susu yang dibawa dari Pemadam Kelaparan. “Oke.
Saya anggap kita impas,” ucapnya sambil tersenyum kecil.
Langganan:
Postingan (Atom)